Minggu, 21 Juni 2009

LOVE BASED ACCOUNTING EDUCATION AND HYPERVIEW OF LEARNING

LOVE BASED ACCOUNTING EDUCATION AND HYPERVIEW OF LEARNING

Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN


Abstract

Love based accounting education is a concrete understanding about education interaction based on trust, honesty and to banish doubt and treasons. Love in education should always be directed towards love to Allah SWT. This is Tawhid. By doing this, education will be freed from anthropocentrism, secularism and corporate hegemony. Love Based Accounting Education have consequences on learning process, since it would require Hyper View of Learning. Hyperview of learning added two learning conceptions to six learning conceptions proposed by Rossum and Shenk (1984) and Morton et al (1993) in Byrne and Flood (2004) which are: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person, with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way

Pendahuluan

Mulawarman (2006b) menjelaskan bahwa sistem pendidikan akuntansi saat ini telah lepas dari realitas masyarakat Indonesia disebabkan sistem dan konsep pendidikan akuntansi dibawa langsung dari “dunia lain” (baca: Barat) yang memiliki nilai-nilai Indonesia sendiri tanpa kodifikasi dan penyesuaian yang signifikan. Akuntansi merupakan produk yang dibangun dan dikembangkan dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dimana akuntansi dan sistem akuntansi dikembangkan (lihat misalnya Hines 1989; Morgan 1989; Tinker 1980; Mulawarman 2006a dan banyak lainnya). Akuntansi dan sistem pendidikan akuntansi mmemang membawavalues (nilai-nilai) “sekularisasi” yang memiliki ciri utama self-interest, menekankanbottom line laba dan hanya mengakui realitas yang tercandra (materialistik).

Konsekuensi nilai sekuler ini lanjut Mulawarman (2006b) telah mengarahkan pendidikan akuntansi dengan tiga karakteristik utama.

Pertama, pendidikan akuntansi sebagai desain ”perangkap hegemoni korporasi” (Mayper et.al. 2005) serta diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam memahami kepentingan ekonomi (Amernic dan Craig 2004). Kondisi yang berlangsung lama ini kemudian menjadi “dogma” akuntansi yang “universal” dan dilihat sebagai evolusi pendekatan ekonomi positivistik (Truan dan Hughes 2003).

Kedua, pandangan pembelajaran yang dijalankan di Indonesia masih didasarkan pada konsepsi pembelajaran reproductive view of learning dan kurang menggunakan konsep “constructive view of learning (Byrne dan Flood 2004).

Ketiga, pandangan pembelajaran seperti ini menyebabkan mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah kontekstual dan selalu berubah-ubah. Pendidikan akuntansi dengan pandangan pembelajaran reproduktif jelas tidak dapat melihat pentingnya membekali mahasiswa menjadi pionir-pionir pemberdayaan masyarakat. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang asing dengan lingkungannya tetapi lebih akrab dengan dunia bisnis yang bergelimang peredaran dana ratusan miliar per hari di pasar modal.

Berdasarkan tiga masalah utama pendidikan akuntansi tersebut, Mulawarman (2008) kemudian mengusulkan Hyper View of Learning sebagai pusat dari Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta Yang Melampaui (Hiperlove). Mewujudkan pendidikan akuntansi berbasis cinta adalah akuntabilitas-moralitas yang berpusat pada nilai-nilai holistik. Ilmu akuntansi tidaklah melakukan pembatasan ontologis terhadap hal yang mistik dan metafisik yang telah dilakukan oleh Sain Barat/Modern yang menyebabkannya menjadi materialistik. Tetapi yang paling penting adalah melakukan proses integrasi dan sinergi rasio dan intuisi dan menuju nilai spiritual yang dapat memberi kekuatan dalam pengembangan pendidikan. Cinta yang melampaui memberikan konsekuensi-konsekuensi logis dalam pendidikan akuntansi.

Konsekuensi Logis Pengembangan Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta

Bentuk hyper view of learning menurut Mulawarman (2006b) adalah pencerahan dan pembebasan dengan menyetujui perluasan akuntabilitas disamping untuk kepentingan shareholders/market juga terhadap karyawan, pemasok, masyarakat alam, dan Tuhan. Itulah akuntabilitas yang didasarkan cinta sinergis yang egoistis-altruistis dan materialistis-religius. Konsekuensi logis dari akuntabilitas yang diperluas, akan membebaskan sistem pendidikan dari hegemoni korporasi sekaligus memberikan nilai tambah (value added) bagi peserta didik/mahasiswa akuntasi. Lepasnya hegemoni korporasi akan memberikan keluasaan akuntan pendidik mendistribusikan konsep sampai dengan teknik akuntansi yang seimbang, seperti konsep dasar teoritis dan teknik akuntansi berbasis proprietary theory untuk perusahaan kecil, entity theory untuk perusahaan yang memisahkan manajemen dan pemilik/pemegang saham, atau enterprise theory yang mencakup akuntabilitas lebih luas. Lepasnya hegemoni korporasi pada gilirannya menggiring penggalian dan konstruksi dinamis konsep akuntansi bagi akademisi yang jauh lebih luas daripada yang selama ini ada dan didominasi pengembangan akuntansi berbasis entity theory. Nilai tambah akan memberikan pemahaman lebih luas terhadap kepentingan pengambilan kebijakan akuntansi bagi para peserta didik ketika lulus. Bukan melakukan judgement yang di-kooptasi perusahaan, tetapi memiliki empati terhadap selain stockholders di dalam lingkungan intern perusahaan, seperti karyawan, buruh, manajemen misalnya. Empati juga akan muncul terhadap lingkungan eksternal perusahaan seperti pemasok, lingkungan alam dan terutama adalah akuntabilitas pribadinya kepada Tuhan. Pada gilirannya akuntan hasil pendidikan yang bebas hegemoni korporasi meningkatkan ekstensi empati seperti keinginan untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya dengan membuat teknik dan prosedur akuntansi yang bermanfaat bagi perusahaan mikro, kecil dan menengah, koperasi maupun perusahaan berbasis religius tanpa dibayangi rewardmaterial signifikan.

Konsekuensi lainnya lanjut Mulawarman (2006b) adalah pada pembelajaran yang secara normatif tidak lagi ditekankan pembelajaran mahasiswa pada konsepprocedural learning dan surface approach dan juga bentuk konseptual deep approach to learning, tetapi menekankan pembelajaran kesemuanya dan sekaligus melampauinya (hyper). Pelampauan (hyper) dalam pendekatan pembelajaran berdasar enam konsepsi pembelajaran dari Van Rossum dan Schenk (1984) dan Marton et.al. (1993), perlu penambahan dua konsepsi pembelajaran, yaitu pendekatan intuitif dan spiritualitas . Delapan konsepsi pembelajaran (Hyper view of learning) menurut Mulawarman (2006b) adalah sebagai berikut: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person, with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way.Konsekuensinya adalah memberikan bekal bagi setiap peserta didik atau mahasiswa akuntansi untuk dapat mengembangkan gagasan, teori, konsep akuntansi yang relatif baru dengan keluasan akuntabilitas, bukan bersifat materi yang terbatas (stockholders dan lingkungan sosial), tetapi juga mengarah pada akuntabilitas lebih luas (alam dan Ilahiah). Konsekuensi logis konsep pembelajaran yang melampaui (hyper) ini kemudian tidak lagi mengutamakan dan melihat metodologi yang digunakan dalam riset akuntansi yang memiliki nilai scientific bila ber-”aroma” obyektif/kuantitiatif/statitistik/positivistik atau lebih menekankan pada riset yang ber-“aroma” subyektif/kualitatif/non-statistik/non-positifistik. Tetapi proses riset dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhannya.

Referensi:

Mulawarman, Aji Dedi. 2006a. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah dari Wacana ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 1 Desember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta: Lepas dari Hegemoni Korporasi Menuju Pendidikan Membebaskan dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui. Jurnal EKUITAS STIESIA. Juni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar